Ushuulus-Sunnah lil-Imaam Ahmad bin Hanbal (1)

Selasa, 05 Mei 2015

Pendahuluan & Berpegang pada Manhaj Shahabat

Pendahuluan I
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، أَمَّا بَعْدُ
Allah ta’ala berfirman:
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ * وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?". Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [QS. Al-Munaafiquun : 10-11].
Ayat ini menjelaskan kepada kita bagaimana penyesalan orang-orang yang merugi saat kematian datang menghampiri mereka serta permohonan mereka agar Allah ta’aladapat menangguhkan kematian dan mengembalikan mereka di dunia agar mereka dalam beramal sebanyak-banyaknnya.
Ayat ini juga memberikan faedah kepada kita agar memanfaatkan waktu kehidupan kita di dunia sebaik-baiknnya dengan amal-amal shalih. Apa yang Allah ta’ala firmankan dalam QS. Al-Munaafiquun ayat 10-11 tersebut senada dengan firman-Nya:
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ * لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan” [QS. Al-Mukminuun : 99-100].
Qataadah rahimahullah berkata:
والله ما تمنى أن يرجع إلى أهل ولا إلى عشيرة، ولكن تمنى أن يرجع فيعمل بطاعة الله
“Demi Allah, ia tidaklah menginginkan untuk dikembalikan kepada keluarganya dan tidak pula kepada kerabatnya. Akan tetapi ia menginginkan untuk dikembalikan sehingga ia dapat melakukan amal ketaatan kepada Allah” [Tafsir Ibni Katsiir, 5/494].
Salah satu perbuatan ketaatan kepada Allah adalah menuntut ilmu, karena menuntut ilmu adalah melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajahno. 224 dan dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Jaami’ Ash-Shaghiir no. 3913].
Ketika disebut muslim, maka masuk di dalamnya muslimah. Adapun tambahan lafadh ‘muslimah’ dalam hadits tersebut adalah lemah (dla’iif) sebagaimana dijelaskan para ulama.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda tentang keutamaan menuntut ilmu:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan mudahkan baginya dengan hal tersebut jalan menuju surgai” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2646, dan ia mengatakan : ‘hadits hasan’].
Akan tetapi kita harus ingat, menuntut ilmu bukanlah merupakan tujuan akhir, akan tetapi ia hanya wasilah (sarana) bagi kita untuk beramal shaalih, beramal dengan benar. Ilmu bukan untuk dikoleksi. Ilmu yang tidak diamalkan seperti pohon yang tidak ada buahnya.
Oleh karena itu, kita dianjurkan agar senantiasa berdoa supaya dikaruniai ilmu yang bermanfaat seperti doa:
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’ [QS. Thaha : 114].
Ini adalah doa yang sering diucapkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Nabi saja sebagai orang yang paling berilmu masih senantiasa memohon tambahan ilmu, tentu kita, umatnya, yang masih banyak tidak mengetahui ilmu-ilmu syari’at lebih pantas untuk bersering-sering berdoa memohon tambahan ilmu (yang bermanfaat).
Begitu juga dengan doa yang rutin kita baca setiap pagi setelah shalat Shubuh:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepadamu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amalan yang diterima” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 925; shahih].
Juga doa:
اللَّهُمَّ نَفِّعْنِي بِمَا عَلَّمْتَنِي، وَعَلِّمْنِي مَا يَنْفَعُنِي
“Ya Allah, berikanlah manfaat dari ilmu yang Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkan kepadaku apa yang bermanfaat bagiku” [Diriwayatkan An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 7819, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin no. 3371, dan yang lainnya].
Doa ini memberikan faedah pada kita bahwa tidak semua ilmu bermanfaat, dan tidak semua ilmu yang asalnya bermanfaat dapat turut memberikan manfaat bagi pemiliknya dalam amalannya. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ilmu tidaklah bermanfaat jika tidak diamalkan. Maka, sudah seharusnya kita – sebagai seorang muslim - tidak lepas dari doa ini agar Allah hanya memberikan ilmu yang bermanfaat bagi kita dan memberikan taufiq kepada kita agar dapat mengamalkan ilmu kita tersebut.
Pendahuluan II
Kitab Ushuulus-Sunnah yang ditulis oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahmerupakan kitab yang berisi pokok-pokok ‘aqidah dan manhaj Ahlus-Sunnah yang mesti dipegang oleh seorang muslim.
Kalimat Ushuulus-Sunnah (أصول السنة) terdiri dari dua kata, yaitu ushuul (أصول) dan as-sunnah (السنة). Kata ushuul adalah jamak dari kata ashl (أصل) yang artinya adalah landasan tempat membangun sesuatu.
Adapun as-sunnah secara bahasa maknanya adalah ath-thariiqah dan as-siirah (jalan), baik yang terpuji (mahmuudah) maupun tercela (madzmuumah). Kemudian lafadh as-sunnah ini dimutlakkan untuk makna yang terpuji, sehingga dikatakan : Fulaan min Ahlis-Sunnah, maknanya : Fulaan termasuk orang yang menempuh jalan yang lurus lagi terpuji.
As-Sunnah secara istilah yang dimaksudkan dalam bahasan di sini adalah sesuatu yang berlawanan dengan bid’ah dari pokok-pokok agama dan permasalahan-permasalahan ‘aqiidah. Apabila dikatakan terhadap seseorang bahwasannya ia adalah shaahibus-sunnah, maka yang dimaksudkan adalah : Ia berada di atas ajaran/agama Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya yang mulia – ridlwaanullaahi ‘alaih baik dalam perkataan, perbuatan, maupun keyakinan (i’tiqaad) [lihat : Majmuu’ Al-Fataawaa 19/306-307, Al-Aatsaar Al-Waaridah ‘an Aimmatis-Sunnah 1/24, dan Mafhuum Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah hal. 42-47].
Selain Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, banyak ulama lain yang menulis kitab ‘aqiidah/manhaj dengan judul yang sama (Ushuulus-Sunnah) atau semisal yang menyandarkan kepada ‘as-sunnah’. Diantaranya:
1.         Ushuulus-Sunnah karangan Al-Humaidiy (Abu Bakr ‘Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidiy), wafat tahun 219 H.
2.         Ushuulus-Sunnah karangan Ibnu Abiz-Zamaniin (Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah Al-Andalusiy), wafat tahun 399 H.
3.         Asy-Syarh wal-Ibaanah ‘alaa Ushuulis-Sunnah wal-Diyaanah atau sering disebut Al-Ibaanatush-Shughraa karangan Ibnu Baththah Al-‘Ukbariy, wafat tahun 387 H.
4.         As-Sunnah karangan Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin Haaruun bin Yaziid Al-Khallaal, wafat tahun 311 H.
5.         Syarhus-Sunnah karangan Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Aliy bin Khalaf Al-Barbahariy, wafat tahun 329 H.
6.         Syarhus-Sunnah karangan Ismaa’iil bin Yahyaa Al-Muzanniy (murid Al-Imaam Asy-Syaafi’iy), wafat tahun 264 H.
7.         As-Sunnah karangan ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, wafat tahun 290 H.
8.         As-Sunnah karangan Abu ‘Abdillah Muhammad bin Nashr Al-Marwaziy, wafat tahun 294 H.
9.         As-Sunnah karangan Abu Bakr Ahmad bin ‘Amru bin Abi ‘Aashim (Ibnu Abi ‘Aashim), wafat tahun 287 H.
10.      Shariihus-Sunnah karangan Abu Ja’far Muhammad bin Jariir Ath-Thabariy, wafat tahun 310 H.
11.      Dan lain-lain.
Biografi Singkat Al-Imaam Ahmad bin Hanbal
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilaal bin Asad Asy-Syaibaaniy, Abu ‘Abdillah Al-Marwaziy; seorang imam yang tsiqah, haafidh, faqiih, lagi hujjah. Termasukthabaqah ke-10, lahir tahun 164 H di Baghdaad (bulan Rabi’ul-Awwal), dan wafat tahun 241 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Al-Kaasyif 1/202 no. 78 dan Taqriibut-Tahdziib, hal. 98 no. 97].
Guru-guru beliau:
1.         Ismaa’il bin Ibraahiim bin Miqsam Al-Asadiy Al-Bashriy, yang terkenal dengan nama Ibnu ‘Ulayyahtsiqah lagi haafidh, 110-193 H; Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 136 no. 420].
2.         Sufyaan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy, Abu Muhammad Al-KuufiyAl-Makkiy; tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah107 H-198 H; Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 395 no. 2464].
3.         Sulaimaan bin Daawud bin Al-Jaarud, Abu Daawud Ath-Thayaalisiy Al-Bashriy Al-Haafidh; tsiqah lagi haafidh, namun keliru dalam beberapa hadits; wafat tahun 204 H; Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 406 no. 2565].
4.         ‘Abdullah bin Idriis bin Yaziid bin ‘Abdirrahmaan bin Al-Aswad Al-Audiy, Abu Muhammad Al-Kuufiy; tsiqah, faqiih, lagi ‘aabid120 H - 192 H; Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 491 no. 3224].
5.         ‘Abdullah bin Numair Al-Hamdaaniy, Abu Hisyaam Al-Kuufiy; tsiqah shaahibul-hadiits dari kalangan Ahlus-Sunnah; 115 H - 199 H; Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 553 no. 3692].
6.         Abdurrahmaan bin Mahdiy bin Hassaan bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Anbariy Abu Sa’iid Al-Bashriy; seorang yang tsiqahtsabt, lagi haafidh; 135 H - 198 H; Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 601 no. 4044] à sekaligus muridnya.
7.         Abdurrazzaaq bin Hammaam bin Naafi’ Al-Humairiy Al-Yamaaniy, Abu Bakr Ash-Shan’aaniy; tsiqah, haafidh, penulis terkenal, namun kemudian mengalami kebutaan sehingga berubah hapalannya di akhir umurnya; 126 H - 211 H; Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 607 no. 4092] à sekaligus muridnya.
8.         Al-Fadhl bin Dukain – ‘Amru bin Hammaad bin Zuhair Al-Qurasyiy At-Taimiy Abu Nu’aim Al-Malaaiy Al-Kuufiy; tsiqah lagi tsabat129 H/130 H - 218 H; Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 782 no. 5436].
9.         Qutaibah bin Sa’iid bin Jamiil bin Thariif bin ‘Abdillah Ats-Tsaqafiy, Abu Rajaa’ Al-Balkhiy Al-Baghlaaniy; tsiqah lagi tsabat; 150 H - 240 H; Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [lihat : Tahdziibul-Kamaal 23/523-537 no. 4852, Tahdziibut-Tahdziib 8/358-361 no. 641, dan Taqriibut-Tahdziib, hal. 799 no. 5557] à sekaligus muridnya.
10.      Muhammad bin Idriis bin Al-‘Abbaas bin ‘Utsmaan bin Syaafi’ Al-Muthallibiy Al-Qurasyiy, Abu ‘Abdillah Asy-Syaafi’iy Al-Makkiy; seorang imam yang tidak perlu dipertanyakan lagi; 150 H - 204 H; Al-Bukhaariy secara mua’llaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 823-824 no. 5754] à sekaligus muridnya.
Murid-murid beliau:
1.         Al-Bukhaariy
2.         Muslim.
3.         Abu Daawud.
4.         Baqiy bin Makhlad Al-Andalusiy.
5.         Hanbal bin Ishaaq bin Hanbal (keponakannya).
6.         ‘Abbaad bin Muhammad Ad-Duuriy.
7.         ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (anaknya).
8.         ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Ubaid bin Sufyaan Al-Qurasyiy, Abu Bakr bin Abid-Dun-yaa Al-Baghdaadiy Al-Haafidh; shaduuq, mempunyai banyak tulisan; wafat tahun 281 H; Ibnu Maajah dalam At-Tafsiir [Taqriibut-Tahdziib, hal. 542 no. 3616].
9.         Abu Zur’ah Ar-Raaziy.
10.      ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy.
11.      Muhammad bin Yahyaa bin ‘Abdillah bin Khaalid bin Faaris bin Dzuaib Adz-Dzuhliy, Abu ‘Abdillah An-Naisaabuuriy; tsiqah, haafidh, lagi jaliil; 172 H - 258 H; Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 907 no. 6427].
12.      Yahyaa bin Ma’iin.
13.      Dan lain-lain.
Pujian Ulama kepada Beliau:
Qutaibah bin Sa’iid berkata : “Seandainya tidak ada Ahmad bin Hanbal, maka matilah sikap wara’”. Ia juga berkata : “Dengan wafatnya Ahmad bin Hanbal, maka muncullah bid’ah. Dengan wafatnya Asy-Syaafi’iy, matilah sunnah-sunnah. Dan dengan wafatnya Ats-Tsauriy, matilah sifat wara’”.
Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Orang-orang berkeinginan terhadap kami untuk menjadi orang semisal Ahmad bin Hanbal. Tidak, demi Allah, kami tidaklah sanggup terhadap cobaan yang Ahmad bin Hanbal sanggup menjalaninya. Dan kami juga tidak sanggup untuk menempuh jalan yang ditempuh Ahmad bin Hanbal” [Hilyatul-Auliyaa’, 9/168].
Ahmad bin Sa’iid Ad-Daarimiy berkata : “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih hapal hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, serta tidak ada yang lebih mengetahui tentang fiqh dan makna-maknanya daripada Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal”. Abu Zur’ah Ar-Raaziy berkata : “Ahmad bin Hanbal hapal satu juta hadits”.
Abu Haatim Ar-Raaziy berkata : “Apabila kalian melihat seorang laki-laki yang mencintai Ahmad bin Hanbal, maka ketahuilah bahwa ia shaahibus-sunnah”. Abu Ja’far Muhammad bin Haarun Al-Mukharrimiy berkata : “Apabila engkau melihat seorang laki-laki mencela Ahmad bin Hanbal, ketahuilah bahwa ia seorang mubtadi’” [silakan baca selengkapnya :Tahdziibul-Kamaal, 1/437-470 no. 96].
USHUULUS-SUNNAH
Al-Imaam Ahmad berkata:
أُصُولُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا:
١- التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
٢ - والاقْتِدَاءُ بِهِمْ.
“Pokok-pokok/pondasi sunnah menurut kami adalah:
1.     Berpegang teguh pada ajaran/jalan hidup para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
2.     Dan meneladani mereka”.
Penjelasan
Di sini dibatasi hanya pada tiga pokok bahasan, yaitu (a) definisi shahabat, (b) keutamaan shahabat, dan (c) kewajiban berpegang kepada manhaj shahabat dan meneladani mereka.
a.     Definisi shahabat.
Abu Nu’aim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata tentang definisi shahabat:
من عرف بصحبة النبي صلى الله عليه وسلم أو روى عنه أو رآه من الذكور والإناث
“Siapa saja yang diketahui pershahabatannya dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, atau yang meriwayatkan dari beliau, atau yang pernah melihat beliau dari kalangan laki-laki dan wanita” [Ma’rifatush-Shahaabah, 2/394].
‘Aliy bin Al-Madiiniy rahimahullah berkata:
من صحب النبي صلى الله عليه وسلم أو رآه ولو ساعة من نهار فهو من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa yang bershahabat dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau pernah melihatnya meskipun hanya sekejap di waktu siang, maka ia termasuk diantara shahabat-shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam’ [Fathul-Baariy, 7/5].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
وَالصَّحَابِيُّ مَنْ رَأَى رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَالِ إِسْلَامِ الرَّائِي, وَإِنْ لَمْ تَطُلْ صُحْبَتُهُ لَهُ, وَإِنْ لَمْ يَرْوِ عَنْهُ شَيْئًا هَذَا قَوْلُ جُمْهُورِ اَلْعُلَمَاءِ, خَلَفًا وَسَلَفًا
“Dan (definisi) shahabat adalah orang yang pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan Islam ketika melihatnya, meskipun tidak lama waktu pershahabatannya itu dan meskipun tidak meriwayatkan satu pun hadits dari beliau. Ini adalah pendapat/perkataan jumhur ulama salaf dan khalaf” [Al-Baa’itsul-Hatsiits oleh Ibnu Katsiir, hal. 491].
Ibnu Hajar rahimahullah menyempurnakannya dengan menambah keterangan :
مَن لَقِيَ النبي صلى الله عليه وسلم مؤمناً به، ومات على الإسلام، ولو تَخَلَّلتْ رِدَّةٌ.
“Siapa saja yang bertemu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman kepada beliau, dan wafat dalam keadaan Islam, meskipun pernah murtad” [Nuz-hatun-Nadhar, 1/141].
Kemudian beliau rahimahullah memperinci di kitab beliau yang lain:
فيدخل فيمن لقيه من طالت مجالسته له أوقصرت ومن روى عنه أو لم يرو ومن غزا معه أو لم يغز ومن رأه رؤية ولو لم يجالسه ومن لم يره لعارض كالعمى،ويخرج بقيد الإيمان من لقيه كافراً ولو أسلم بعد ذلك إذا لم يجتمع به مرة أخرى
“Maka masuk dalam definisi tersebut orang yang bertemu dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam baik ia bermajelis dengan beliau dalam waktu yang lama atau sebentar; baik yang meriwayatkan dari beliau maupun tidak meriwayatkan; baik yang meriwayatkan dari beliau atau tidak meriwayatkan; baik yang berperang bersama beliau atau tidak berperang bersama beliau; orang yang pernah melihat beliau sekejap meskipun tidak pernah bermajelis dengan beliau; dan orang yang tidak pernah melihat beliau karena adanya halangan seperti kebutaan...” [Al-Ishaabah, 1/10].
Pendefinisian Ibnu Hajar inilah yang lebih komprehensif.
Para shahabat tidak berada dalam satu tingkatan. Ada shahabat yang paling utama, ada yang berada di bawahnya dan di bawahnya. Dan shahabat Nabi yang paling utama adalah Abu Bakr Ash-Shiddiiq, lalu ‘Umar bin Al-Khaththaab, lalu ‘Utsmaan bin ‘Affaan, lalu ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhum.
Ada beberapa shahabat yang termasuk dari kalangan ulamanya, ada yang berada di bawahnya dan di bawahnya dalam hal keilmuan. Ada shahabat yang mempunyai satu sifat khusus atau keunggulan yang tidak dimiliki oleh shahabat yang lainnya.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنُخَيِّرُ أَبَا بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Kami memilih-milih orang terbaik di antara manusia pada jaman Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dan kami pun memilih (yang terbaik tersebut) adalah Abu Bakr, kemudian 'Umar bin Al-Khaththaab, kemudian 'Utsmaan bin 'Affaan radliyallaahu 'anhum" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3655].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَلِيٍّ: " أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى، إِلا أَنَّكَ لَسْتَ نَبِيًّا، إِنَّهُ لا يَنْبَغِي أَنْ أَذْهَبَ إِلا وَأَنْتَ خَلِيفَتِي فِي كُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ بَعْدِي "
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi w sallam pernah bersabda kepada ‘Aliy : “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, namun engkau bukanlah seorang nabi. Tidak sepantasnya aku pergi kecuali engkau sebagai “khalifah”-ku bagi setiap mukmin setelahku” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (bersama Dhilaalul-Jannah) hal. 565 no. 1188; sanadnya hasan].
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ، وَأَشَدُّهُمْ فِي أَمْرِ اللَّهِ عُمَرُ، وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ، وَأَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ، وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينًا وَإِنَّ أَمِينَ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ "
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Diantara ummatku yang paling belas kasih terhadap ummatku (yang lain) adalah Abu Bakr, sedangkan yang paling tegas terhadap perintah Allah adalah ‘Umar, yang paling pemalu adalah ‘Utsmaan, yang paling mengetahui halal haram adalah Mu'aadz bin Jabal, dan yang paling mengetahui tentang ilmu fara'idh adalah Zaid bin Tsaabit, serta yang paling bagus bacaannya adalah Ubay bin Ka'ab, dan setiap ummat memiliki orang kepercayaan, sedangkan orang kepercayaan ummat ini adalah Abu 'Ubaidah bin Jarraah” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3791, dan ia berkata : “Hadits shahih”].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كُنْتُ فِي بَيْتِ مَيْمُونَةَ ابْنَةِ الْحَارِثِ، فَوَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَهُورَهُ، فَقَالَ: " مَنْ وَضَعَ هَذَا؟ "، فَقَالَتْ مَيْمُونَةُ: عَبْدُ اللَّهِ، فَقَالَ: " اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ "
Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata : “Aku pernah berada di rumah Maimunah binti Al-Haarits. Maka aku ambilkan untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (air) untuk bersuci (thaharah). Beliau pun bertanya : ‘Siapakah yang mengambilkan (air) ini ?’. Maimunah menjawab : ‘Abdullah’. Beliau bersabda : ‘Ya Allah, faqihkan ia dalam agama dan ajarkanlah ilmu ta’wil (tafsir) kepadanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (12/111-112 no. 12273, Ahmad 1/266 & 314 & 328 & 335 dan yang lainnya; shahih].

14 ABAD YANG LALU DIA PERNAH MERINDUKANMU

Minggu, 26 April 2015

(edisi revisi)

Dialah Rasulullah…

Tepat sembilan hari menjelang wafatnya turunlah firman Allah yang berbunyi:
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ

“ Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kalian semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang 
mereka sedikit pun tidak didzalimi.” (Al Baqarah : 281)

Semenjak itu raut kesedihan mulai tampak di wajah beliau yang suci. “Aku ingin mengunjungi syuhada Uhud ujar beliau.” Beliaupun pergi menuju makam syuhada Uhud, sesampainya disana beliau mendekati makam para syhada dan berkata, “Assalamu’alaikum wahai syuhada Uhud, kalian telah mendahului kami. Insya Allah kamipun akan menyusul kalian.”

Ditengah perjalanan pulang, rasulullah shallallahu alaihi wasallam menangis. Para sahabat yang mendapinginya bertanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Aku rindu kepada saudara-saudaraku.” Mereka berkata, “Bukankah kami adalah saudara-saudaramu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Bukan, kalian adalah sahabat-sahabatku. Adapun saudara-saudaraku adalah mereka yang datang sesudahku, mereka beriman kepadaku padahal mereka belum pernah melihatku.”
(HR. Ahmad)

Alangkah tulus ungkapan itu..
Namun tersisa beragam tanya:
Kitakah yang dirindukan itu…?
Bila iya, Sudahkah kita merindukannya…?
Sudahkah kita beriman sehingga pantas dirindu…?
Sudahkan kita mengamalkan sunnahnya sebagai bukti cinta…?
Pantaskah diri yang lalai ini dirindukan rasulullah…?
Duhai.. alangkah malangnya bila yang dirindukan itu terusir dari telaga haudhnya.
Alangkah malangnya bila nanti terdengar darinya ucapan, “menjauhlah dari telagaku…”
Kau tau kenapa…? Karena mereka telah merubah-rubah Agama yang dibawanya.
Wahai insan yang dirindu….
Ikutilah jalan hidup manusia agung yang dulu pernah merindukanmu..
Jauhi segala macam bid’ah dalam agama, agar kau tak terusir dari telaganya.
Buktikan cintamu dengan ittiba’ agar cintamu tak bertepuk sebelah tangan.
Ingat selalu firman Allah azza wa jalla:
Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3:31)
Ingat kawan…. Ditepi telaga haudh dia menanti kita..
“Aku akan mendahului kalian di telaga. Aku sebagai saksi atas kalian” dan sesungguhnya—demi Allah— saat ini aku sedang memandang telagaku itu” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Semoga Allah menuntun langkah kita menuju telaga rasul-Nya.
_______
Madinah 07-07-1436 H
ACT El-Gharantaly

Apakah Rambut Bayi Perempuan Dicukur (Gundul) Saat Aqiqah?

Pada hari ketujuh dari kelahiran, disunahkan untuk menyembelih kambing aqiqah, memberikan nama, mencukur gundul rambutnya, serta bersedekah seharga perak seberat timbangan rambutnya. Apakah hal itu berlaku untuk bayi laki-laki dan perempuan atau khusus untuk bayi laki-laki?

Para ulama berselisih dalam permasalahan ini:

Pertama, mencukur rambut berlaku untuk bayi laki-laki dan perempuan. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah dan sebagian Hanabilah. Diantara dalil yang digunakan pendapat ini:

(1) Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا كان يوم السابع للمولود فأهريقوا عنه دما وأميطوا عنه الأذى و سموه

“Apabila bayi yang dilahirkan memasuki hari ketujuh, maka curahkanlah darah (sembelihlah hewan aqiqah –pen), buanglah gangguan dan berilah ia nama” [HR. Ath-Thabrani, 2/526 dan dihasankan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalaniy rahimahumallah[1]]

Lafazh [للمولود] “bayi yang dilahirkan” dalam nash hadits mencakup bayi laki-laki dan perempuan tanpa ada pengecualian.

(2) Al-Imam Abdurrazaq Ash-Shan’aniy rahimahullah berkata:

أنّ فاطمة بنت النبي صلى الله عليه وسلم »كانت لا يولد لها ولد إلاّ أمرت بحلق رأسه، وتصدقت بوزن شعره ورِقاً

“Tidaklah Fatimah binti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melahirkan anak kecuali Fatimah memerintahkan untuk mencukur rambutnya dan bersedekah perak seberat timbangan rambutnya” [Al-Mushannaf, 4/257]

Telah diketahui bahwa Fatimah melahirkan dua anak laki-laki dan dua anak perempuan yaitu Hasan, Husain, Ummu Kultsum dan Zainab.

(3) Dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya berkata:

وَزَنَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - شَعَرَ حَسَنٍ وَحُسَيْنٍ، وَزَيْنَبَ وَأُمِّ كُلْثُومٍ، فَتَصَدَّقَتْ بِزِنَةِ ذَلِكَ فِضَّةً

“Fatimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menimbang rambut Hasan, Husain, Zainab dan Ummu Kultsum, kemudian bersedekah seharga perak seberat timbangan rambutnya” [Al-Muwatha’, 2/501 dan As-Sunan Al-Kubra, 9/304]

(4) Makna [وأميطوا عنه الأذى] “menghilangkan gangguan” adalah mencukur rambut sebagaimana ditegaskan dalam riwayat Al-Hakim

وَأَمَرَ أَنْ يُمَاط عَنْ رُءُوسهمَا الْأَذَى

“Rasulullah memerintahkan untuk membuang gangguan dari kepala keduanya (Hasan dan Husain)”

Illat perintah mencukur rambut bayi adalah untuk menghilangkan gangguan, dan illat tersebut juga ada pada bayi perempuan. Allahu a’lam

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وَقَدْ جَزَمَ الْأَصْمَعِيُّ بِأَنَّهُ حَلْقُ الرَّأْسِ . وَأَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنْ الْحَسَنِ كَذَلِكَ

“Al-Ashma’iy telah memastikan bahwa makna menghilangkan gangguan adalah mencukur rambut. Demikian pula Abu Daud  meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Al-Hasan” [Fathul Bari, 9/593]

Al-Imam Ibnu Sirin rahimahullah berkata:

إِنْ لَمْ يَكُنْ الْأَذَى حَلْقَ الرَّأْسِ فَلَا أَدْرِي مَا هُوَ

 “Apabila (menghilangkan) gangguan bukan bermakna mencukur rambut, maka aku tidak tahu apa yang dimaksud dalam hadits tersebut” [Tuhfatul Ahwadzi,]

Pendapat ini dipilih oleh Al-Imam Ash-Shan’aniy[2] dan Asy-Syaikh Muhammad Ali Firkuuz rahimahumallah

Kedua, mencukur gundul rambut tidak berlaku bagi bayi perempuan, hanya dikhususkan untuk bayi laki-laki. Ini merupakan pendapat sebagian ulama Hanabilah.

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

ولا تختلف الرواية في كراهة حلق المرأة رأسها من غير ضرورة

“Tidak ada perselisihan riwayat tentang makruhnya mencukur rambut perempuan tanpa ada kebutuhan darurat” [Al-Mughni, 1/104]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وَحَكَى الْمَاوَرْدِيّ كَرَاهَة حَلْق رَأْس الْجَارِيَة ، وَعَنْ بَعْض الْحَنَابِلَة يُحْلَق

“Al-Mawardi menghikayatkan makruhnya mencukur rambut bayi perempuan, sedangkan sebagian Hanabilah berpendapat dicukur” [Fathul Bari]

Diantara dalil yang digunakan pendapat ini adalah sabda nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

الغلام مرتهن بعقيقته يذبح عنه يوم السابع ، ويسمى ، ويحلق رأسه

“Bayi laki-laki tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan  (kambing) pada hari ketujuh, diberikan nama dan dicukur gundul rambutnya” [HR. At-Tirmidzi no. 1522 dan dishahihkan oleh Al-Albani rahimahumallah dalam Shahih At-Tirmidzi]

Seluruh riwayat yang ada hanya menyebutkan bayi laki-laki, tidak ada riwayat shahih yang menyebutkan bayi perempuan.

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

لم يصح حديث في حلق شعر المولودة الأنثى

“Hadits tentang mencukur rambut bayi perempuan tidak shahih” [Al-Mughni, 1/104]

Pendapat ini dipilih oleh Asy-Syaikh Abdul Aziiz bin Baz[3] dan Asy-Syaikh Abdullah Al-Jibrin[4] rahimahumallah

Tarjih

Saya pribadi lebih condong pada pendapat pertama, karena dalil yang digunakan lebih shariih, Allahua’lam. Adapun penyebutan riwayat [الغلام] tidaklah khusus bermakna bayi laki-laki, karena pada asalnya tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan dalam Islam, selain yang dikecualikan oleh dalil. Sedangkan saya belum menemukan riwayat yang membedakan antara bayi laki-laki dan perempuan.

Asy-Syaikh As-Sindiy rahimahullah berkata:

قوله كل غلام أريد به مطلق المولود ذكرًا كان أو أنثى

“Sabda Nabi [كل غلام] yang dimaksud adalah setiap bayi yang dilahirkan, baik laki-laki maupun perempuan” [Hasyiyah As-Sindiy ‘ala An-Nasa’iy]

Sisi kedua, anggaplah mencukur rambut memang khusus bagi bayi laki-laki. Apakah aqiqah juga khusus bagi bayi laki-laki?? Kenapa dibedakan antara keduanya, padahal mencukur rambut dan aqiqah disebutkan dalam nash hadits yang sama!!

Allahua’lam, semoga bermanfaat.




[1] Fathul Bari, 9/589

[2] Subulus Salam, 4/203

[3] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10/48

[4] Fatawa Ibnu Jibrin no. 2771